Ini surat balasan dari Mba Rizqa, istri mas Fahd Djibran.
Judulnya 'Komitmen'
Sejak awal, aku tahu hanya kamu yang bisa menghancurkan perasaanku. Tapi
aku selalu seolah rela membiarkanmu melakukannya—berulang-ulang kali.
Sementara aku selalu bersedia menjadi pelupa, memaafkan semua
kesalahan-kesalahanmu, betapapun kau akan melakukannya lagi. Dan lagi.
Aku membuka semua pintu dan jendela rahasia dalam diriku agar kau bisa memasuki dan mengetahui semua tentang kehidupanku: Kekuatan dan kelemahan-kelemahanku, keberanian dan ketakutan-ketakutanku, kebahagiaan dan kesedihan-kesedihanku. Ya, hanya aku dan kamu yang tahu. Kita berdua. (Tuhan tak perlu dihitung. Dia selalu tahu segalanya, kan?)
Maka dengan semua pengetahuanmu tentang diriku, kaulah satu-satunya
orang yang tahu bagaimana caranya untuk benar-benar membahagiakanku—atau
benar-benar menghancurkanku.
Bagiku, barangkali ini yang disebut cinta sejati. Aku membencimu
setengah mati, tetapi sekaligus tak bisa membohongi diriku sendiri bahwa
tak ada yang lebih kucintai selain kamu. Mencintaimu seolah-olah siklus
sempurna ketika aku menampar seluruh bagian wajahmu, tetapi setelah itu
aku akan mengobati dan membelainya dengan rasa bersalah sekaligus
khawatir.
Mencintaimu adalah membuatmu merasa bersalah terhadapku tetapi akhirnya aku akan mengatakan: “Tidak apa-apa, aku yang salah,
kok.” Mencintaimu adalah bertingkah apa saja yang bisa membuatmu
mengkhawatirkanku, tetapi saat kau mendekatiku, membelai rambutku, dan
bertanya “Kamu nggak kenapa-kenapa?” Maka aku akan menggelengkan kepala dan menjawab, “Nggak kenapa-kenapa. Aku baik-baik saja.” Lalu menyandarkan kepalaku di bahumu.
Begitulah, di saat-saat terburuk sekalipun, saat aku paling membencimu: Meski
kadang-kadang aku ingin mengajakmu ke tempat paling tinggi agar aku
bisa menjatuhkanmu dari sana, sebenarnya aku akan bergegas ke bawah
untuk menangkap dan mendekapmu. Sebab jauh di kedalaman diriku, tak
ada yang lebih membuatku takut selain mendapatimu terluka, atau
bersedih, atau kecewa—apalagi jika aku yang melakukannya.
Jika ada yang salah dengan hubungan kita, seperti biasanya masing-masing
kita akan bereaksi dengan cara bertahannya sendiri-sendiri. Aku egois.
Kamu lebih egois. Aku akan marah padamu, dan kau lebih marah lagi. Tapi
di akhir cerita, kita akan saling menyapa dengan malu-malu, meminta maaf
atas kebodohan masing-masing kita, dan belajar lagi untuk saling
mencintai dan lebih mengerti. Itulah cinta kita: Sederhana, apa adanya tapi tak ada yang bisa mengalahkannya.
Barangkali sebab kaulah satu-satunya orang yang paling membuatku takut
kehilanganmu, aku mencintaimu sebesar kesedihanku jika suatu hari kau
meninggalkanku—melukai perasaanku. Aku menerimamu sebab aku tak punya
pilihan lainnya. Sejak kau mencuri hatiku, kau telah sekaligus mengunci
langkahku untuk tak bisa pergi ke jebakan cinta siapa-siapa lagi.
Jika menikahimu akan membuat kita belajar berdansa di saat-saat sedih
dan bahagia, aku akan tetap berdansa denganmu meski suatu hari kita
telah kehilangan segala-galanya.
Maka datanglah. Aku akan menyambutmu sebesar semua kebahagiaan yang
telah kau berikan padaku. Terima kasih telah, sedang, dan selalu
membuatku menjadi perempuan paling bahagia di dunia—duniaku, duniamu,
dunia kita.
~.~.~.~
Hmm.. surat ini sangat-sangat wanita, sangat emosional, romantis, and hmm.. menunjukkan janji, kematangan, dan kesiapan. Cool!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
wah lebih rajin nulis nih.......hehehehe lanjutkan..
BalasHapus