Tampilkan postingan dengan label economy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label economy. Tampilkan semua postingan

Selasa, Agustus 16, 2011

REPOST: (Un)happy Birthday, Fiat Money by Jordi Franch on August 15, 2011

Tulisan ini adalah repost dari tulisan di mises daily, saya tertarik untuk memposting ulang karena isinya lumayan perlu untuk kita cermati.. enjoy!!

by Jordi Franch on August 15, 2011 
Forty years ago today, on the morning of Sunday, August 15, 1971, the US president, Richard Nixon, declared the inconvertibility of the dollar into gold.[1] The 20,000 tons of the yellow metal deposited in Fort Knox in 1944 had decreased substantially due to the high military costs of the Vietnam War. The United States — the leading global economic power — could not honor its financial commitments.
As a result, the Bretton Woods system officially ended, and the dollar became a fully fiat currency, backed not by gold but by the promise of the government.
This meant the end of a historical and monetary rule that, from the dawn of civilization, had made money a general medium of exchange and also a store of value. It began a new era of historical abnormality — that of fiat currency and central-bank monopoly, where the ability to provide credit and financing becomes as boundless as the production of legally enforced paper printed by the issuing bank.
With the burial of the last vestiges of the gold — that "barbarous relic" of the past, in Keynes's words — the annoying limitation on the creation of money and credit was broken. Human needs, as well as political demands mobilized through democratic majorities (and minorities), are infinite.
Why stop spending? Why sacrifice immediate pleasures? The new fiat currency, devoid of intrinsic properties, releases governments from their commitment to convertibility, granting unlimited powers to the rulers of this statist system. With the burial of sound money, Keynes stands as the prophet of a new era of enjoyment and excitement under the new gospel of spending. Fiat money helps to remove the link between production and consumption, contributing to the delusion that the ineradicable scarcity of capital has been abolished.
The central banks can now print any amount of money. The dollar, which functions (so far) as the international currency, acquires real goods without offering anything in return. Of course, some holders of dollars are hard workers who, integrated within the structure of production, contribute to society with the provision of real goods and services. But there are also the politicians and bureaucrats — a completely different class of people.
This parasitic class weakens the productive class (and also manipulates production through public spending). At the moment, the European Central Bank is monetizing the debt of the peripheral European countries, diverting real resources from entrepreneurs in order to finance the wasteful activities of governments. It's totally outrageous, morally unjust, and economically ruinous. It's just one more road to serfdom.
Fiat money attempts the miracle of turning stones into bread or, rather, of exchanging paper for cars, electrical appliances, and luxury clothing. It's the wonderful feeling of spending and consuming without the necessity of producing. Through fiat money, the richest and most powerful countries have also become the most indebted.
Unlike the 19th century, when the dominant power (Britain) accumulated surpluses, and the emerging nations ran into debt, now just the opposite happens. The United States' external deficit and his twin brother, the public deficit, absorb the bulk of world savings, while emerging countries, most remarkably China, lend to them. And it seems that China — the largest single holder of US government debt, with more than 25 percent of all foreign-held US Treasury securities — is not resigned to stay passive while the value of its holdings is decreasing.
The United States — even when it was born in 1776 from a libertarian revolution against the arbitrary despotism of a British state that wanted to impose taxes without consultation — has in its DNA the genes of public spending and unlimited government growth. Today's United States of America has nothing to do with those of Thomas Jefferson. The founding principles were forgotten a century ago with the creation of the Federal Reserve in 1913, the explosion of government spending, and the consequent increase in taxes and debt.

Conclusion

We can continue the journey started on August 15, 1971, or acknowledge that it was a tragic error of dire consequences.
Defenders of unlimited Leviathan advocate additional doses of quantitative easing and the creation of a single currency controlled by a world central bank.[2] Along this line, major central banks could take unified and oligopolistic action under the pretext of coordinating monetary policies. This would mean total disaster and the ultimate triumph of the system that has led to the current crisis.
The alternative is a return to sound money, a restoration of the true currency, spontaneous creation of the social order, and a rejection of the meddling of governments and central banks.
Jordi Franch teaches business and economics at Spain's Manresa University and the Technical University of Catalonia. He discovered Mises during his graduate studies, but the director of his economics department forbade him to do his PhD on Austrian economics. So he went to Rey Juan Carlos University and found Jesús Huerta de Soto. Send email to Jordi Franch. See Jordi Franch's article archives.
Notes
[1] The 1926 gold–exchange standard had already prevented the use of gold in the daily life of ordinary citizens, because the government would pay for British pounds and other foreign currencies only in large-sized bars. After Nixon's decree, the dollar was officially no longer exchangeable at the ratio of 35 dollars per ounce of gold. (The current gold price is now over 1,600 dollars!)
[2] This was the proposal of Keynes during the Bretton Woods conference, recommending the imposition of the bancor as the international currency.

Senin, Januari 10, 2011

DPBS BI: BI Moderat (Menuju) Optimis Pertumbuhan IB Capai 45%-55% di 2011

Menutup tahun 2010, Perbankan Syariah telah mencapai jumlah yang signifikan, ada 11 bank umum syariah (BUS), 23 unit usaha syariah (UUS), dan 146 BPRS dengan jaringan kantor sebanyak 1.625 unit, jumlah ini telah bertambah sejak 2008 hanya ada 3 BUS , 2009 ada 6 BUS dan 2010 ada 11 BUS.

“Target 5% kemungkinan bisa didapat di tahun 2013, pada 2015 ditargetkan bisa sampai 10%, secara resmi nanti akan disampaikan oleh BI, sekarang masih off the record dan belum di-announce ” papar Ali Sakti kepada Shaumi, Sabtu (01/01/11)

Menurut pejabat peneliti di Direktorat Perbankan Syariah (DPBS) Ali Sakti pada awal Januari 2010 di STEI Tazkia, Perbankan Syariah optimis karena tren pertumbuhan perbankan syariah cenderung meningkat sejak 2008 hingga 2010. BI menghitung hingga 2015 kemungkinan bisa mencapai 20-30 Bank Syariah, namun apakah itu ideal untuk industri ini atau tidak, akan dikaji lebih lanjut, papar Sakti.

Diakuinya kecenderungan hitungan yang terus meningkat ini berasal dari investasi baru dan juga konversi UUS (Unit Usaha Syariah) menjadi BUS (Bank Umum Syariah). Maka harapannya akan ada penambahan aset yang signifikan pada 2011 hingga 2012. Tahun ini dianggap sebagai tahun yang ideal karena dibutuhkan 2 tahun untuk persiapan infrastruktur agar bisa ekspansif dan memanen hasil pada tahun-tahun tersebut (akselerasi).

“Akselerasi itu maksudnya karena ada persaingan antar Perbankan Syariah, tentu akan ada Perbankan Syariah yang akan menjaga pangsa pasarnya, Perbankan yang mencapai peningkatan pangsa pasar hingga 35% tentu ownernya akan mengambil posisi agar tetap dominan dalam industri ini” urainya.

Pakar Riset Perbankan Syariah ini juga menambahkan bahwa dengan pertumbuhan yang saat ini mencuat sampai 44-45%, maka optimis di 2011 kalo skenario akselerasi ini terjadi, dimana Bank sudah memasang kuda-kuda dengan penumpukan Bank pada 2009-2010, maka 2011 akan ada impact. Harapannya 2011 perbankan syariah sudah settled dengan segala persiapan teknologi dan infrastrukturnya.

Berbicara proyeksi pertumbuhan pada 2011, Sakti menuturkan BI pesimis di kisaran 35%, itupun masih tergolong tinggi. Dan BI percaya diri pada perkembangan moderat menuju optimis, dimana moderat sebesar 45% dan optimis di kisaran 55%.

Saat ini Direktorat Perbankan Syariah juga sedang fokus pada pengembangan teknologi yang efisien untuk bisa mengukur real rate berdasarkan informasi akurat dari neraca-neraca usaha nasabah pembiayaan perbankan syariah. Ukuran real rate ini bertujuan untuk memperbandingkan rate bunga dan bagi hasil yang selama ini masih cenderung mengekor dari rate bunga. Upaya ini ditujukan untuk menghilangkan peran bunga, padahal perbankan syariah dengan real rate ini akan menunjukkan imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan bunga, demikian penuturan Sakti.

“Bunga (riba:red) akan hilang dengan sendirinya jika demand-nya dimatikan semati mungkin” tegasnya menutup pembicaraan dengan Shaumi.


Selasa, Januari 04, 2011

Bukan Memberi, Tetapi Membantu Mereka Agar Bisa Memberi (Seri Baitul Maal wa Tamwil)


Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila…padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.(Al Baqarah: 275).

Indonesia diakui sebagai sebuah negara penuh potensi alam dan sumber daya manusia dalam proses pertumbuhan nasionalnya, ribuan pulau yang membentang memiliki kekayaan alam yang bisa menghidupi rakyatnya menuju penghidupan yang sejahtera. Tapi apa jadinya jika ini hanya menjadi sebuah wacana, tampak jelas kondisi riil masyarakat Indonesia saat ini yang terus berkemelut dengan pengangguran, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Serta masih banyak permasalahan sosial lainnya yang akan terus berdampak buruk bagi masa depan anak cucu bangsa ini. Permasalahan-permasalahan makro yang terjadi ini terus terjadi bukan tanpa solusi, pemerintah masih terus mencoba bahkan trial and error dalam menentukan kebijakan-kebijakan strategis guna menyikapi semua permasalahan yang terjadi.

Namun solusi-solusi penanggulangan masalah-masalah tersebut cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk warga miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan yang terjadi, program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral masyarakat. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen[1]. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya. Budaya ekonomi produktif lahir dengan tumbuh suburnya Bank-bank perkreditan kecil, namun solusi ini tidak mampu menjawab, karena masyarakat terus bergelimang dalam ekonomi ribawi dengan dibebankannya bunga dalam setiap pinjaman.

Salah satu solusi yang mampu menumbuhkan budaya ekonomi produktif non ribawi justru lahir dari masyarakat, yaitu dengan terbentuknya Baitul Maal wa Tamwil (BMT). Baitul Maal wa Tamwil lahir dan hadir di tengah-tengah masyarakat, serta dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan selanjutnya sebagai sebuah salah satu instrumen yang akan dirasakan manfaatnya oleh bangsa ini, setidaknya dalam menaggulangi pengangguran, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan.

Baitul Maal wa Tamwil selain sebagai lembaga alternatif penyalur modal juga memiliki misi, yaitu mewujudkan gerakan pembebasan anggota dan masyarakat dari belenggu rentenir, jerat kemiskinan, dan ekonomi ribawi, gerakan pemberdayaan meningkatkan kapasitas dalam kegiatan ekonomi riil, dan kelembagaan menuju tatanan perekonomian yang makmur dan maju serta gerakan keadilan membangun struktur masyarakat madani yang berlandaskan syariah.


Baitul Maal wa Tamwil dan Keadilan

Berdasarkan sebuah penelitian, BMT dapat memberikan peningkatan omzet bagi pemilik Usaha Kecil Menengah (UKM). Hal ini jelas dapat terjadi, karena penerima dana pembiayaan baik melalui skimsyirkah (kemitraan) atau mudhorobah akan terus dipantau dalam menjalankan roda usahanya sebagai sebuah tanggung jawab usaha bersama. Nasabah tidak diberi pinjaman, lalu diabaikan sementara pemilik modal hanya menuntut untuk menerima bunga bulanan yang fixed. Secara normatif, jelasbertentangan dengan prinsip kerjasama dalam hal kebaikan yang tertera dalam AlQuran. Pada faktanya pun akan memberikan kerugian materil bagi pengelola dana atau penerima dana pinjaman untuk Usaha Kecil Menengah tersebut. Inilah yang disebut dengan misi BMT untuk menyelamatkan masyarakat kecil menengah dari jeratan rentenir, bahkan rentenir yang sudah melembaga menjadi sebuah LKM ataupun BPRS bahkan Bank Konvensional sekalipun.

Baitul Maal wa Tamwil dalam Penghimpunan dan Penyaluran Dana

Secara fungsional Baitul Maal wa Tamwil (BMT) menjalankan dua misi, yaitu misi tabarru (tolong menolong) dan misi tamwil (mendapatkan keuntungan). Keduanya hendaknya mampu dilaksanakan oleh BMT secara proporsional. Layanan keuangan yang diberikan sangat dibutuhkan dalam menjembatani kebutuhan masyarakat kecil dalam bertransaksi secara mikro, dalam hal ini dana yang digunakan untuk kepentingan UKM, tak ayal keberadaan BMT ini sangat relevan dengan amanat Pancasila dan UUD 1945 pasal 27 dan 33 yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana diketahui dana yang dihimpun Baitul Maal wa Tamwil tak hanya simpanan dari orang yang kelebihan dana, tetapi juga berasal dari dana ZISWAF (Zakat, Infaq, Shadaqah, Wakaf). Baitul Maal Muamalat (BMM) salah satu anak perusahaan Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang menjalankan fungsi sosial BMI adalah salah satu lembaga zakat terkemuka di Indonesia, tetapi perannya dalam pengelolaan zakat, infaq, waqaf justru terfokus pada pengembangan usaha mikro dengan pemberian modal kepada ratusan BMT/LKMS diberbagai wilayah di Indonesia[2]. Penerima dana juga mendapat bimbingan kewirausahaan yang kontinyu dan terus dipantau seluruh aktivitas usahanya hingga pada akhirnya penerima dana mampu berdiri sendiri dan dapat menyalurkan charity atas usaha yang berjalan sukses. Contoh unik lain adalah BMT Tazkia madani, keunikannya BMT ini fokus padasocial collateral yang dibangun, juga diiringi pembinaan akhlak dan budaya bersekolah hingga tingkat atas bagi peserta penerima dana di sebuah lokasi yang masih terbelakang di daerah Babakan Madang, Bogor. Sekitar 3000 keluarga penerima dana yang merasakan manfaat pembinaan tersebut. Ada kepedulian jangka panjang dalam menyalurkan dana yang memang secara tak langsung adalah milik sebagian masyarakat yang kurang beruntung dari segi harta kepemilikan. Dan masih banyak kisah-kisah sukses BMT yang bisa digali dari kurang lebih 3000 unit BMT di seluruh Indonesia.

Indikasi positif ini hanya mampu dijalankan oleh lembaga keuangan mikro syariah, dengan ruang lingkup yang masih sangat sederhana, tapi justru mampu memiliki efek pengganda yang bercabang untuk kehidupan masyarakat menengah kebawah. Sebagai pelengkap keunggulan BMT ini juga bisa dilihat dari sisi makro, yaitu adanya semangat berwirausaha yang tinggi dari penerima dana pembiayaan. Keunggulan yang tak bisa diabaikan, mengingat betapa pentingnya wirausahawan sebagai pendorong pertumbuhan dan tingkat kesejahteraan nasional. Ini adalah kabar baik, dan ini merupakan aplikasi ekonomi Islam yang sangat nyata bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah.

Penutup

Keseimbangan hidup bermasyarakat ada ketika para aghniya (orang-orang kaya) bisa menanggung perut saudaranya sesama muslim yang lapar, pemberian cuma-cuma akan membesarkan hati fuqara(kaum papa). Lalu bagaimana fuqara bisa menjaga kepercayaan aghniya bahwa dana itu digunakan untuk kebutuhan yang semestinya, maka perlu ada wujud nyata, yaitu pengembangan usaha yang terkontrol dari sebuah lembaga yang terspesialisasi dan ahli dalam menangani usaha mikro. Lembaga Keuangan mikro yang tak menjerat seperti rentenir, dan menjalankan fungsinya sesuai dengan prinsip syariah dan mengambil seluruh landasan kegiatan lembaganya berdasarkan Al-Quran dan As-sunnah adalah Baitul Maal wa Tamwil (BMT). Kesejahteraan yang dicapai akan terus berlanjut. Inilah inti dari kesejahteraan yang ingin dicapai oleh penerapan ekonomi Islam di alam raya ini, pemerataan kesejahteraan, distribusi keadilan dan mancapai kemakmuran secara bersama-sama dalam sebuah tatanan masyarakat Indonesia produktif non ribawi. Hal terbaik yang bisa anda lakukan untuk orang lain bukanlah membagikan kekayaan anda, tetapi membantu ia untuk memiliki kekayaannya sendiri. (Benjamin Disraeli). Wallahu a’lam bi showab.


[1] Hamonangan Ritonga Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik, Badan Pusat Statistik”Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan? “ dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/10/ekonomi

[2] BMM bermitra dengan Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah dan dipercaya IDB sebagai donator terbesar dalam mengelola dana zakat.

Meninjau Ulang Liberalisasi Ekonomi di Indonesia: Restrukturisasi Moral dalam Pembangunan Modal Sosial







Kaum Klasik yang banyak direpresentasikan oleh sosok Adam Smith boleh bangga dengan kemajuan negara-negara penganut faham Kapitalis yang sempat menjadi raksasa ekonomi dunia, namun sejatinya jika melihat kondisi teraktual di abad 21 justru kaum klasik inilah yang perlu kembali membuat rumusan-rumusan baru tentang teori-teorinya sembari mengkritik habis-habisan teori individualis dan materialis. Menurut Adam Smith, Individualis berbeda dengan egoisme. Meski sama-sama berarti mementingkan diri sendiri. Namun memperhatikan kepentingan pribadi dalam individualisme tidak harus menyebabkan berkurangnya perhatian terhadap kepentingan orang lain.[1]

Dalam perkembangan individualisme mungkin bisa dilihat dari tren yang terjadi saat ini, dimana para peraih rangking sebagai orang-orang terkaya di dunia versi majalah Forbes mengadakan sumbangan sosial yang diawali oleh jamuan makan siang Warren Buffet dan Bill Gates pada Maret 2010 di Omaha, muncullah sebuah gagasan mengenai ikrar filantropi para miliarder. Gagasannya sederhana, tapi tidak main-main, Gates dan Buffet berencana mengajak para miliarder Amerika Serikat untuk menggelontorkan dana sebesar 50% dari total kekayaan mereka untuk amal. Walhasil, ide ini terus bergulir dari satu jamuan ke jamuan lainnya (seperti diceritakan majalah Fortune Indonesia). Terlepas dari berbagai cerita kedermawanan dan ribuan dolar yang terkumpul, ada sebuah sistem perekonomian yang sakit dimana gap yang terjadi terlalu lebar antara orang kaya dan orang miskin, karena distribusi yang terjadi hanya sebatas hasil produksi, bukan faktor-faktor produksi yang tersebar rata diantara para pelaku ekonomi.

Pada dasarnya, ketidakmerataan tersebut berasal dari teori mekanisme pasar yang kebablasan yang sangat populer dari Adam Smith. Mengapa dinyatakan kebablasan? Karena dalam kondisi normal, negara tak perlu berperan dalam penetapan harga karena akan tercipta distorsi pasar, namun dalam menjaga stabilitas harga bahan-bahan pokok atau barang publik, otoritas negara boleh menetapkan harga agar tidak terjadi ketimpangan dalam menikmati barang publik.

Kembali kepada teori invisible hand yang akan menimbulkan sebuah sistem ekonomi pasar yang diasumsikan akan menciptakan efisiensi ekonomi. Tanpa perlu dijelaskan panjang lebar teori mekanisme pasar yang kebablasan menyebabkan Indonesia ikut berperan aktif dalam percaturan Liberalisasi Ekonomi, yang kini ditandai dengan adanya perdagangan bebas non kuota dan non tarif. Perdagangan bebas ini tidak dipengaruhi secara langsung oleh teori tersebut, melainkan melalui kepatuhan Indonesia atas resep Washington Consensus yang disinyalir akan memperbaiki kinerja ekonomi, yang mana butir-butirnya adalah perdagangan bebas, stabilitas makro dan penerapan kebijakan harga yang tepat.

Amartya Sen, Guru besar Trinity College, Cambridge yang juga peraih nobel ekonomi pada 1998 sempat menyatakan mekanisme pasar merupakan mesin pertumbuhan. Mekanisme pasar merupakan satu-satunya wahana interaksi untuk menjala manfaat yang saling menguntungkan. "Saya tak melihat," katanya, "ada kritik yang bisa melawan mukjizat mekanisme pasar." Namun, Sen punya catatan kaki: mekanisme pasar mustahil bisa berfungsi "adil" jika tak ada aturan main yang mencegah penguasa modal menggunakan kekuatannya dalam memperoleh keunggulan informasi dan pengelolaan sumber daya. Mekanisme pasar juga tak akan berfungsi optimal jika tak ada pranata lain yang membuka akses bagi semua orang agar bisa berperan serta. Pendek kata, tanpa aturan main yang bisa mencegah si kuat melahap yang lemah, pasar akan menjadi alat perampasan ekonomi.[2] Demikian pula yang terjadi di negara-negara berkembang, khusunya Indonesia sebagai negara berkembang yang sangat lemah dalam permodalan, sehingga sudah selayaknya Indonesia cukup mengukur diri dalam kancah perdagangan internasional dengan tetap menetapkan kebijakan proteksi atas produk-produk yang dihasilkan. Kendati perdagangan Internasional memberikan value added yang amat besar bagi konsumen, dan penduduk Indonesia sebagian besar konsumen, namun hal ini selanjutnya akan terus menghambat peningkatan produktivitas yang artinya menafikan kreativitas bangsa. Di Indonesia, misalnya, liberalisasi pasar versi IMF menuntut dibukanya seluruh hambatan perdagangan. Bea masuk beras harus dicabut dan pajak ekspor kayu gelondongan pasar tetap dihapus. Akibatnya, hanya dalam beberapa tahun saja, hutan-hutan dibabat sehingga kualitas lingkungan merosot. Di Korea, IMF menyarankan agar Seoul meninggalkan industri semikonduktor. Untunglah Korea tak mau menurut, tak diduga, justru industri chip inilah yang mengentaskan Negeri Ginseng itu dari jurang krisis. Belum lagi perjanjian-perjanjian pertambangan yang mesti ditinjau ulang, liberalisasi pasar ini menyebabkan banyak harta bangsa Indonesia yang terampas.

Riset mahaguru ekonomi politik dari London School of Economics, Robert Wade, menyimpulkan bahwa distribusi pendapatan dunia telah memusat pada dua kutub yang begitu lebar, seperti langit dan bumi. Berdasarkan perhitungan daya beli, mereka yang hidup di Afrika, India, Indonesia, dan daerah pedesaan Cina berjejalan di kutub "dasar bumi" dengan pendapatan per kapita di bawah US$ 1.500 (Rp 15 juta) setahun. Sebaliknya, di kutub langit hiduplah warga AS, Jepang, Jerman, Prancis, Inggris, dan Italia dengan penghasilan sepuluh kali lipat lebih besar.

Seperti kita ketahui bersama, liberalisasi pasar ini menemui kegagalan karena AS terus mengalami defisit anggaran dan defisit perdagangan. Karena itu pada Juli 1971 Presiden AS Richard Nixon mengubah sistem nilai tukar tetap menjadi mengambang dan cadangan devisa diubah dari emas menjadi dolar AS. Pada intinya kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh negara-negara maju saat ini justru menimbulkan dampak yang tidak diinginkan oleh negara itu sendiri, terutama oleh negara-negara berkembang dan bahkan negara-negara miskin. Maka diawal penulis sudah mengungkapakan bahwa perlu adanya instrumen pembangunan modal sosial (social capital) melalui pembenahan sistem pendidikan berbasis moral, sebenarnya ide ini sudah pernah disampaikan oleh Prof Mappadjantji dari Universitas Hasanudin, selain itu mantan orang berpengaruh di World Bank Joseph E Stiglitz yang juga penerima nobel ekonomi pada 2001 mendukung adanya Pendidikan dasar, jaminan kesehatan, reformasi agraria, dan akses terhadap sumber keuangan yang menjadi beberapa prasyarat utama agar liberalisasi pasar berjalan adil. Sementara Sen, lebih sering menyebutnya sebagai Human Development. Hanya saja moral banyak dikesampingkan dan hanya dianggap sebagai bagian kecil dalam proses pendidikan, padahal sudah saatnya moral menjadi tagline model pendidikan Indonesia.

Pembangunan modal sosial ini bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia sehingga mampu menciptakan teknologi canggih dari dunia ketiga sebagai hasil dari restrukturisasi pendidikan yang dilakukan. Sistem pendidikan yang terintegrasi antara pendidikan dengan moral ini jika diterapkan secara menyeluruh akan mampu meng-cover liberalisasi sebagai sebuah sistem yang sulit untuk digagalkan sejalan dengan iklim politik Indonesia yang banyak tunduk pada negara superpower Amerika Serikat. Harapannya nanti akan dapat membangun peranti-peranti moral yang dapat meramu moral menjadi postulat atau kebijakan yang lebih beradab. Tentunya dengan human development yang tinggi mampu meningkatkan daya kompetisi Indonesia dalam menerobos percaturan liberalisasi yang semakin tak memiliki border. Pembangunan Social-moral capital ini membutuhkan investasi yang besar, tanpa ada unsur moral pun negara-negara maju kapitalis lain pun masih menganggap hal ini sebagai sesuatu yang mahal.



[1] Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hlm 41

Senin, Desember 06, 2010

Antara Saya (dan waktu demi waktu) dengan Perbankan Syariah

IB atau Islamic Banking (baca:perbankan syariah) saat ini udah familiar banget di benak saya, pertama karena memang industri ini sudah melebar luas, advertising-nya juga sudah lumayan gegap gempita, dan promosi-promosi dengan hadiah-hadiah makin kerap dilakukan. Bahkan sekarang anak-anak muda sudah banyak diperkenalkan dengan perbankan syariah, lewat radio-radio ibukota IB (Islamic Banking) mengenalkan konsep Perbankan Syariah dengan mensponsori beberapa acara yang dinilai positif dan juga mengadakan lomba pembuatan jingle IB (Islamic Banking). Program tersebut sangat menarik untuk bisa mensosialisasikan IB kepada anak muda. Ini tentu berbeda dengan kondisi pada masa-masa awal 90 bahkan hingga tahun 2000-an masih banyak (banget)orang yang tidak mengenal, bahkan beberapa tidak mau mengenal, dari raut mukanya ketika ditanya “mas , tau perbankan syariah?” ada jawaban yang sedikit menggambarkan kesan “Bank apaan tuh, udah jelas-jelas bank gue lebih terpercaya, bunganya tinggi”, hmm,,terpercaya dari segi apa ya kalo difikir-fikir, bukannya malah banyak menyengsarakan pada masa krisis 1997, atau krisis Global di 2008. Entah mungkin dia tak mengerti juga dari segi apa dia mempercayai bank kesayangannya tersebut, mungkin juga sebatas menabung dan ga’ pernah ilang, atau lihat iklan-iklan dengan gelegar hadiahnya.
Lalu alasan kedua mengapa Perbankan syariah begitu saya kenal, jadi ceritanya pada masa SMA di tahun 2007, kebetulan di sekolah saya dulu mewajibkan seluruh siswa semester akhir untuk menulis karya tulis Ilmiah, formatnya penelitian kualitatif sederhana, dengan tema bebas. Dan saya tergelitik untuk meneliti tentang “Pengaruh pemahaman masyarakat terhadap perbankan syariah dengan minat mereka untuk menabung”, pada awalnya saya mau meneliti tentang “Pengaruh sistem mudhorobah pada perbankan syariah terhadap kesejahteraan masyarakat”, karena pada masa itu produk yag paling lekat dibenak saya tentang perbankan syariah adalah mudhorobah, yaitu bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal. Namun sungguh disayangkan ketika saya konsultasi ke Customer Service di salah satu Bank Syariah yang berlabel pertama murni syariah, dia bilang “Itu terlalu tinggi de pembahasannya, lebih cocok buat mahasiswa”, ya udahlah, saya terima saran CS yang amat ramah dan baik hati itu, karena saya ngga mau juga sok tau. Pada akhirnya saya harus bolak balik nemuin pejabat setempat (penelitian dilakukan di tingkat RW), untuk mendapatkan populasi yang akhirnya saya jadikan sampel. Karena motode yang digunakan adalah angket, otomatis saya dalam kurang lebih seminggu door to door, memohon kebaikan hati masyarakat untuk mengisi angket yang sudah saya siapkan. Belum lagi saya harus menerima penolakan yang terasa kejam tiada tara karena merasa terganggu oleh anak sma yang sok tau ini, tapi paling bahagia ketika saya menemui bapak-bapak yang penuh antusias mengisi angket dan menjawabnya sambil berpidato panjang bahwa perbankan syariah sangat dikaguminya dan mengatakan bahwa dia adalah nasabah yang rutin menabung di bank Syariah. Tak pernah bisa lepas ingatan ini tentang reaksi masyarakat tentang perbankan syariah kala itu. Dan hasil angket yang terdiri dari 20 pertanyaan itu, jika boleh saya ambil kesimpulan bahwa masyarakat di daerah yang saya teliti sebagian besar sudah mengerti tentang perbankan syariah, tau konsep riba, mendukung perjuangan Perbankan Syariah, dan berharap perbankan syariah disosialisasikan lebih luas di masyarakat melalui media televisi. Uh, senangnya hati kala itu, data primer yang menghasilkan jawaban yang saya inginkan. Padahal jika difikir-fikir sekarang, wajar jika saya mendapatkan respon yang positif, karena daerah yang saya teliti adalah daerah perkotaan, akses pendidikan yang memadai, dan lingkungan yang lumayan religious juga. Tapi sungguh saya tak dapat melupakan pengalaman berharga kala SMA itu. Kala itu rasanya saya amat mencintai Bank Syariah.

Hal ketiga yang bikin saya mengenal Perbankan Syariah, adalah pada masa SMP sekitar tahun 2005. Hampir setiap dua minggu sekali saya mengunjungi salah satu Bank Syariah di kota tempat saya tinggal. Cuma buat ngambil uang transferan dari orang tua, karena tinggal jauh dengan ortu. waktu itu saya merasa minder banget, karena saldo tabungan saya selalu nol, jadi cuma numpang lewat doang tuh duit. Kadangkala kalo udah sampe bank saya enggan mengambil antrian, artinya saya selalu mempersilahkan orang lain yang bertransaksi besar untuk mengambil antrian saya. Dan rasanya juga segan duduk di bangku customer service jika ada masalah dengan transferan saya, karena saya fikir yang duduk di bangku CS itu orang-orang yang buka deposito berjuta-juta atau melakukan transaksi-transaksi besar nan bermakna, beda dengan anak smp culun yang cuma pengen cepet-cepet duit transfer-an cair. Tapi belakangan saya menyadari, bahwa sekecil apapun transaksi seorang nasabah, dia akan tetap dianggap raja dan diberikan pelayanan yang baik. Karena perbankan Syariah adalah bisnis jasa yang prinsipnya lahir dari Al Quran dan Sunnah, jadi apalagi yang akan diberikan kepada nasabah selain pelayanan yang excellent dan adil. Fortunately, I felt those one.
Masih dalam konteks mengenal perbankan syariah, mungkin ini tahap terawal saya mengenal perbankan syariah, yaitu sekitar tahun 1999. Kala itu sang ayah antusias sekali memperlihatkan sebuah buku tabungan yang berjudul ‘Ummat’ berwarna ungu campur biru itu.
Dalam benak saya saat itu hanya ada fikiran bahwa ayahku hebat menabung di Bank, padahal sebelumnya ayah tak punya rekening Bank, karena ia bukan seorang karyawan yang gajinya dikirim lewat Bank. Tapi ternyata, ayah menjadi nasabah bank bukan karena sedang memperoleh rezeki yang banyak, bukan juga karena gajinya harus di transfer lewat Bank. Alasannya adalah “ini Bank bebas riba, Riba itu haram nak”, begitu ucapnya. Saya yang masih tak tahu menahu menerima bulat-bulat kata-kata ayah, kalimat itu terus terpatri dalam otak dan hati saya. Sampai saya dewasa dan sampai saat ini saya menimba ilmu di institusi Ekonomi Islam kalimat itu masih saya ingat, dan selama waktu berselang itu telah banyak peristiwa-peristiwa kehancuran ekonomi dunia yang terjadi diakibatkan riba, ayah yang tak menimba ilmu hingga di jenjang setinggi saya telah mengajatkan dan memberi tahu sebelumnya. Yang membuat saya tergerak untuk belajar tentang ekonomi syariah khususnya perbankan syariah, Terimakasih ayah.
Kini saya dan Perbankan Syariah sepertinya adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan, bukan hanya menjadi seorang nasabah loyal karena saya sudah memiliki tiga akun di dua perbankan syariah ternama di Indonesia. Bukan pula karena saya telah menjadi prime costumer di salah satu perbankan syariah,, karena memang sama sekali tidak. Tapi kini saya menjadi bagian dari industri ini. Meski masih mahasiswa, saya terus ikut berperan mengembangkan perbankan syariah. Lewat seluruh seminar-seminar tentang perbankan Syariah yang kami adakan di kampus dimana banyak diperbincangkan sistem bank syariah yang harus banyak pro UMKM, dan memperbesar porsi pembiayaan. Melalui kegiatan-kegiatan Kelompok Studi Ekonomi Islam kampus kami yang disponsori oleh beberapa Perbankan Syariah. Dan juga lewat organisasi mahasiswa, Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) baik ditingkat nasional ataupun Jabodetabek,
organisasi pergerakan yang concern memperjuangkan ekonomi Islam ini punya andil besar dalam mengembangkan ekonomi Syariah di Indonesia yang saya ikut berkecimpung di dalamnya. Pengalaman magang di Bank Syariah selama satu bulan pun menjadi sebuah titik yang mempertemukan saya dengan institusi yang saya kenal dan banggakan dari dulu ini, terutama ketika magang saya mendapat amanat untuk memperkenalkan zakat, infaq, dan waqaf kepada nasabah. Kala itu saya bertugas di anak perusahaan salah satu perbankan syariah terkemuka di Indonesia yang mana anak perusahaan itu bertugas menjalankan fungsi sosial perbankan Syariah tersebut. Dan saya ditempatkan di salah satu cabang di daerah Bogor. Sepak terjang perbankan syariah yang satu ini dalam mengelola dana sosial patut diacungi jempol, terutama karena saya melihat ketika penerima dana sosial yang sudah berjumlah puluhan ribu itu telah mampu mendapatkan kehidupan yang layak dan mendapatkan kesempatan untuk mengeluarkan 2,5 persen hartanya untuk kemudian disalurkan kepada fakir miskin lainnya. Konsep inilah yang sesungguhnya diidamkan oleh masyarakat Indonesia, pemerataan yang lalu ditopang oleh perbankan syariah. Perbankan Syariah yang berkembang dan akan terus berkembang kini akan selalu jadi catatan sejarah bagi saya selaku penonton dan sedikit berkontribusi. Semoga Perbankan Syariah terus mengalami loncatan-loncatan yang berarti bagi perubahan bangsa ini. Terutama saya turut tersemangati ketika Bapak Agustianto, Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam dalam sebuah seminar nasional di IPB bahwa beliau dan tim sudah membuat cetak biru untuk kemudian perbankan syariah Indonesia menuju porsi aset perbankan nasional 10%. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.