Senin, Desember 06, 2010

Antara Saya (dan waktu demi waktu) dengan Perbankan Syariah

IB atau Islamic Banking (baca:perbankan syariah) saat ini udah familiar banget di benak saya, pertama karena memang industri ini sudah melebar luas, advertising-nya juga sudah lumayan gegap gempita, dan promosi-promosi dengan hadiah-hadiah makin kerap dilakukan. Bahkan sekarang anak-anak muda sudah banyak diperkenalkan dengan perbankan syariah, lewat radio-radio ibukota IB (Islamic Banking) mengenalkan konsep Perbankan Syariah dengan mensponsori beberapa acara yang dinilai positif dan juga mengadakan lomba pembuatan jingle IB (Islamic Banking). Program tersebut sangat menarik untuk bisa mensosialisasikan IB kepada anak muda. Ini tentu berbeda dengan kondisi pada masa-masa awal 90 bahkan hingga tahun 2000-an masih banyak (banget)orang yang tidak mengenal, bahkan beberapa tidak mau mengenal, dari raut mukanya ketika ditanya “mas , tau perbankan syariah?” ada jawaban yang sedikit menggambarkan kesan “Bank apaan tuh, udah jelas-jelas bank gue lebih terpercaya, bunganya tinggi”, hmm,,terpercaya dari segi apa ya kalo difikir-fikir, bukannya malah banyak menyengsarakan pada masa krisis 1997, atau krisis Global di 2008. Entah mungkin dia tak mengerti juga dari segi apa dia mempercayai bank kesayangannya tersebut, mungkin juga sebatas menabung dan ga’ pernah ilang, atau lihat iklan-iklan dengan gelegar hadiahnya.
Lalu alasan kedua mengapa Perbankan syariah begitu saya kenal, jadi ceritanya pada masa SMA di tahun 2007, kebetulan di sekolah saya dulu mewajibkan seluruh siswa semester akhir untuk menulis karya tulis Ilmiah, formatnya penelitian kualitatif sederhana, dengan tema bebas. Dan saya tergelitik untuk meneliti tentang “Pengaruh pemahaman masyarakat terhadap perbankan syariah dengan minat mereka untuk menabung”, pada awalnya saya mau meneliti tentang “Pengaruh sistem mudhorobah pada perbankan syariah terhadap kesejahteraan masyarakat”, karena pada masa itu produk yag paling lekat dibenak saya tentang perbankan syariah adalah mudhorobah, yaitu bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal. Namun sungguh disayangkan ketika saya konsultasi ke Customer Service di salah satu Bank Syariah yang berlabel pertama murni syariah, dia bilang “Itu terlalu tinggi de pembahasannya, lebih cocok buat mahasiswa”, ya udahlah, saya terima saran CS yang amat ramah dan baik hati itu, karena saya ngga mau juga sok tau. Pada akhirnya saya harus bolak balik nemuin pejabat setempat (penelitian dilakukan di tingkat RW), untuk mendapatkan populasi yang akhirnya saya jadikan sampel. Karena motode yang digunakan adalah angket, otomatis saya dalam kurang lebih seminggu door to door, memohon kebaikan hati masyarakat untuk mengisi angket yang sudah saya siapkan. Belum lagi saya harus menerima penolakan yang terasa kejam tiada tara karena merasa terganggu oleh anak sma yang sok tau ini, tapi paling bahagia ketika saya menemui bapak-bapak yang penuh antusias mengisi angket dan menjawabnya sambil berpidato panjang bahwa perbankan syariah sangat dikaguminya dan mengatakan bahwa dia adalah nasabah yang rutin menabung di bank Syariah. Tak pernah bisa lepas ingatan ini tentang reaksi masyarakat tentang perbankan syariah kala itu. Dan hasil angket yang terdiri dari 20 pertanyaan itu, jika boleh saya ambil kesimpulan bahwa masyarakat di daerah yang saya teliti sebagian besar sudah mengerti tentang perbankan syariah, tau konsep riba, mendukung perjuangan Perbankan Syariah, dan berharap perbankan syariah disosialisasikan lebih luas di masyarakat melalui media televisi. Uh, senangnya hati kala itu, data primer yang menghasilkan jawaban yang saya inginkan. Padahal jika difikir-fikir sekarang, wajar jika saya mendapatkan respon yang positif, karena daerah yang saya teliti adalah daerah perkotaan, akses pendidikan yang memadai, dan lingkungan yang lumayan religious juga. Tapi sungguh saya tak dapat melupakan pengalaman berharga kala SMA itu. Kala itu rasanya saya amat mencintai Bank Syariah.

Hal ketiga yang bikin saya mengenal Perbankan Syariah, adalah pada masa SMP sekitar tahun 2005. Hampir setiap dua minggu sekali saya mengunjungi salah satu Bank Syariah di kota tempat saya tinggal. Cuma buat ngambil uang transferan dari orang tua, karena tinggal jauh dengan ortu. waktu itu saya merasa minder banget, karena saldo tabungan saya selalu nol, jadi cuma numpang lewat doang tuh duit. Kadangkala kalo udah sampe bank saya enggan mengambil antrian, artinya saya selalu mempersilahkan orang lain yang bertransaksi besar untuk mengambil antrian saya. Dan rasanya juga segan duduk di bangku customer service jika ada masalah dengan transferan saya, karena saya fikir yang duduk di bangku CS itu orang-orang yang buka deposito berjuta-juta atau melakukan transaksi-transaksi besar nan bermakna, beda dengan anak smp culun yang cuma pengen cepet-cepet duit transfer-an cair. Tapi belakangan saya menyadari, bahwa sekecil apapun transaksi seorang nasabah, dia akan tetap dianggap raja dan diberikan pelayanan yang baik. Karena perbankan Syariah adalah bisnis jasa yang prinsipnya lahir dari Al Quran dan Sunnah, jadi apalagi yang akan diberikan kepada nasabah selain pelayanan yang excellent dan adil. Fortunately, I felt those one.
Masih dalam konteks mengenal perbankan syariah, mungkin ini tahap terawal saya mengenal perbankan syariah, yaitu sekitar tahun 1999. Kala itu sang ayah antusias sekali memperlihatkan sebuah buku tabungan yang berjudul ‘Ummat’ berwarna ungu campur biru itu.
Dalam benak saya saat itu hanya ada fikiran bahwa ayahku hebat menabung di Bank, padahal sebelumnya ayah tak punya rekening Bank, karena ia bukan seorang karyawan yang gajinya dikirim lewat Bank. Tapi ternyata, ayah menjadi nasabah bank bukan karena sedang memperoleh rezeki yang banyak, bukan juga karena gajinya harus di transfer lewat Bank. Alasannya adalah “ini Bank bebas riba, Riba itu haram nak”, begitu ucapnya. Saya yang masih tak tahu menahu menerima bulat-bulat kata-kata ayah, kalimat itu terus terpatri dalam otak dan hati saya. Sampai saya dewasa dan sampai saat ini saya menimba ilmu di institusi Ekonomi Islam kalimat itu masih saya ingat, dan selama waktu berselang itu telah banyak peristiwa-peristiwa kehancuran ekonomi dunia yang terjadi diakibatkan riba, ayah yang tak menimba ilmu hingga di jenjang setinggi saya telah mengajatkan dan memberi tahu sebelumnya. Yang membuat saya tergerak untuk belajar tentang ekonomi syariah khususnya perbankan syariah, Terimakasih ayah.
Kini saya dan Perbankan Syariah sepertinya adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan, bukan hanya menjadi seorang nasabah loyal karena saya sudah memiliki tiga akun di dua perbankan syariah ternama di Indonesia. Bukan pula karena saya telah menjadi prime costumer di salah satu perbankan syariah,, karena memang sama sekali tidak. Tapi kini saya menjadi bagian dari industri ini. Meski masih mahasiswa, saya terus ikut berperan mengembangkan perbankan syariah. Lewat seluruh seminar-seminar tentang perbankan Syariah yang kami adakan di kampus dimana banyak diperbincangkan sistem bank syariah yang harus banyak pro UMKM, dan memperbesar porsi pembiayaan. Melalui kegiatan-kegiatan Kelompok Studi Ekonomi Islam kampus kami yang disponsori oleh beberapa Perbankan Syariah. Dan juga lewat organisasi mahasiswa, Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) baik ditingkat nasional ataupun Jabodetabek,
organisasi pergerakan yang concern memperjuangkan ekonomi Islam ini punya andil besar dalam mengembangkan ekonomi Syariah di Indonesia yang saya ikut berkecimpung di dalamnya. Pengalaman magang di Bank Syariah selama satu bulan pun menjadi sebuah titik yang mempertemukan saya dengan institusi yang saya kenal dan banggakan dari dulu ini, terutama ketika magang saya mendapat amanat untuk memperkenalkan zakat, infaq, dan waqaf kepada nasabah. Kala itu saya bertugas di anak perusahaan salah satu perbankan syariah terkemuka di Indonesia yang mana anak perusahaan itu bertugas menjalankan fungsi sosial perbankan Syariah tersebut. Dan saya ditempatkan di salah satu cabang di daerah Bogor. Sepak terjang perbankan syariah yang satu ini dalam mengelola dana sosial patut diacungi jempol, terutama karena saya melihat ketika penerima dana sosial yang sudah berjumlah puluhan ribu itu telah mampu mendapatkan kehidupan yang layak dan mendapatkan kesempatan untuk mengeluarkan 2,5 persen hartanya untuk kemudian disalurkan kepada fakir miskin lainnya. Konsep inilah yang sesungguhnya diidamkan oleh masyarakat Indonesia, pemerataan yang lalu ditopang oleh perbankan syariah. Perbankan Syariah yang berkembang dan akan terus berkembang kini akan selalu jadi catatan sejarah bagi saya selaku penonton dan sedikit berkontribusi. Semoga Perbankan Syariah terus mengalami loncatan-loncatan yang berarti bagi perubahan bangsa ini. Terutama saya turut tersemangati ketika Bapak Agustianto, Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam dalam sebuah seminar nasional di IPB bahwa beliau dan tim sudah membuat cetak biru untuk kemudian perbankan syariah Indonesia menuju porsi aset perbankan nasional 10%. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar