Selasa, Januari 04, 2011

Meninjau Ulang Liberalisasi Ekonomi di Indonesia: Restrukturisasi Moral dalam Pembangunan Modal Sosial







Kaum Klasik yang banyak direpresentasikan oleh sosok Adam Smith boleh bangga dengan kemajuan negara-negara penganut faham Kapitalis yang sempat menjadi raksasa ekonomi dunia, namun sejatinya jika melihat kondisi teraktual di abad 21 justru kaum klasik inilah yang perlu kembali membuat rumusan-rumusan baru tentang teori-teorinya sembari mengkritik habis-habisan teori individualis dan materialis. Menurut Adam Smith, Individualis berbeda dengan egoisme. Meski sama-sama berarti mementingkan diri sendiri. Namun memperhatikan kepentingan pribadi dalam individualisme tidak harus menyebabkan berkurangnya perhatian terhadap kepentingan orang lain.[1]

Dalam perkembangan individualisme mungkin bisa dilihat dari tren yang terjadi saat ini, dimana para peraih rangking sebagai orang-orang terkaya di dunia versi majalah Forbes mengadakan sumbangan sosial yang diawali oleh jamuan makan siang Warren Buffet dan Bill Gates pada Maret 2010 di Omaha, muncullah sebuah gagasan mengenai ikrar filantropi para miliarder. Gagasannya sederhana, tapi tidak main-main, Gates dan Buffet berencana mengajak para miliarder Amerika Serikat untuk menggelontorkan dana sebesar 50% dari total kekayaan mereka untuk amal. Walhasil, ide ini terus bergulir dari satu jamuan ke jamuan lainnya (seperti diceritakan majalah Fortune Indonesia). Terlepas dari berbagai cerita kedermawanan dan ribuan dolar yang terkumpul, ada sebuah sistem perekonomian yang sakit dimana gap yang terjadi terlalu lebar antara orang kaya dan orang miskin, karena distribusi yang terjadi hanya sebatas hasil produksi, bukan faktor-faktor produksi yang tersebar rata diantara para pelaku ekonomi.

Pada dasarnya, ketidakmerataan tersebut berasal dari teori mekanisme pasar yang kebablasan yang sangat populer dari Adam Smith. Mengapa dinyatakan kebablasan? Karena dalam kondisi normal, negara tak perlu berperan dalam penetapan harga karena akan tercipta distorsi pasar, namun dalam menjaga stabilitas harga bahan-bahan pokok atau barang publik, otoritas negara boleh menetapkan harga agar tidak terjadi ketimpangan dalam menikmati barang publik.

Kembali kepada teori invisible hand yang akan menimbulkan sebuah sistem ekonomi pasar yang diasumsikan akan menciptakan efisiensi ekonomi. Tanpa perlu dijelaskan panjang lebar teori mekanisme pasar yang kebablasan menyebabkan Indonesia ikut berperan aktif dalam percaturan Liberalisasi Ekonomi, yang kini ditandai dengan adanya perdagangan bebas non kuota dan non tarif. Perdagangan bebas ini tidak dipengaruhi secara langsung oleh teori tersebut, melainkan melalui kepatuhan Indonesia atas resep Washington Consensus yang disinyalir akan memperbaiki kinerja ekonomi, yang mana butir-butirnya adalah perdagangan bebas, stabilitas makro dan penerapan kebijakan harga yang tepat.

Amartya Sen, Guru besar Trinity College, Cambridge yang juga peraih nobel ekonomi pada 1998 sempat menyatakan mekanisme pasar merupakan mesin pertumbuhan. Mekanisme pasar merupakan satu-satunya wahana interaksi untuk menjala manfaat yang saling menguntungkan. "Saya tak melihat," katanya, "ada kritik yang bisa melawan mukjizat mekanisme pasar." Namun, Sen punya catatan kaki: mekanisme pasar mustahil bisa berfungsi "adil" jika tak ada aturan main yang mencegah penguasa modal menggunakan kekuatannya dalam memperoleh keunggulan informasi dan pengelolaan sumber daya. Mekanisme pasar juga tak akan berfungsi optimal jika tak ada pranata lain yang membuka akses bagi semua orang agar bisa berperan serta. Pendek kata, tanpa aturan main yang bisa mencegah si kuat melahap yang lemah, pasar akan menjadi alat perampasan ekonomi.[2] Demikian pula yang terjadi di negara-negara berkembang, khusunya Indonesia sebagai negara berkembang yang sangat lemah dalam permodalan, sehingga sudah selayaknya Indonesia cukup mengukur diri dalam kancah perdagangan internasional dengan tetap menetapkan kebijakan proteksi atas produk-produk yang dihasilkan. Kendati perdagangan Internasional memberikan value added yang amat besar bagi konsumen, dan penduduk Indonesia sebagian besar konsumen, namun hal ini selanjutnya akan terus menghambat peningkatan produktivitas yang artinya menafikan kreativitas bangsa. Di Indonesia, misalnya, liberalisasi pasar versi IMF menuntut dibukanya seluruh hambatan perdagangan. Bea masuk beras harus dicabut dan pajak ekspor kayu gelondongan pasar tetap dihapus. Akibatnya, hanya dalam beberapa tahun saja, hutan-hutan dibabat sehingga kualitas lingkungan merosot. Di Korea, IMF menyarankan agar Seoul meninggalkan industri semikonduktor. Untunglah Korea tak mau menurut, tak diduga, justru industri chip inilah yang mengentaskan Negeri Ginseng itu dari jurang krisis. Belum lagi perjanjian-perjanjian pertambangan yang mesti ditinjau ulang, liberalisasi pasar ini menyebabkan banyak harta bangsa Indonesia yang terampas.

Riset mahaguru ekonomi politik dari London School of Economics, Robert Wade, menyimpulkan bahwa distribusi pendapatan dunia telah memusat pada dua kutub yang begitu lebar, seperti langit dan bumi. Berdasarkan perhitungan daya beli, mereka yang hidup di Afrika, India, Indonesia, dan daerah pedesaan Cina berjejalan di kutub "dasar bumi" dengan pendapatan per kapita di bawah US$ 1.500 (Rp 15 juta) setahun. Sebaliknya, di kutub langit hiduplah warga AS, Jepang, Jerman, Prancis, Inggris, dan Italia dengan penghasilan sepuluh kali lipat lebih besar.

Seperti kita ketahui bersama, liberalisasi pasar ini menemui kegagalan karena AS terus mengalami defisit anggaran dan defisit perdagangan. Karena itu pada Juli 1971 Presiden AS Richard Nixon mengubah sistem nilai tukar tetap menjadi mengambang dan cadangan devisa diubah dari emas menjadi dolar AS. Pada intinya kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh negara-negara maju saat ini justru menimbulkan dampak yang tidak diinginkan oleh negara itu sendiri, terutama oleh negara-negara berkembang dan bahkan negara-negara miskin. Maka diawal penulis sudah mengungkapakan bahwa perlu adanya instrumen pembangunan modal sosial (social capital) melalui pembenahan sistem pendidikan berbasis moral, sebenarnya ide ini sudah pernah disampaikan oleh Prof Mappadjantji dari Universitas Hasanudin, selain itu mantan orang berpengaruh di World Bank Joseph E Stiglitz yang juga penerima nobel ekonomi pada 2001 mendukung adanya Pendidikan dasar, jaminan kesehatan, reformasi agraria, dan akses terhadap sumber keuangan yang menjadi beberapa prasyarat utama agar liberalisasi pasar berjalan adil. Sementara Sen, lebih sering menyebutnya sebagai Human Development. Hanya saja moral banyak dikesampingkan dan hanya dianggap sebagai bagian kecil dalam proses pendidikan, padahal sudah saatnya moral menjadi tagline model pendidikan Indonesia.

Pembangunan modal sosial ini bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia sehingga mampu menciptakan teknologi canggih dari dunia ketiga sebagai hasil dari restrukturisasi pendidikan yang dilakukan. Sistem pendidikan yang terintegrasi antara pendidikan dengan moral ini jika diterapkan secara menyeluruh akan mampu meng-cover liberalisasi sebagai sebuah sistem yang sulit untuk digagalkan sejalan dengan iklim politik Indonesia yang banyak tunduk pada negara superpower Amerika Serikat. Harapannya nanti akan dapat membangun peranti-peranti moral yang dapat meramu moral menjadi postulat atau kebijakan yang lebih beradab. Tentunya dengan human development yang tinggi mampu meningkatkan daya kompetisi Indonesia dalam menerobos percaturan liberalisasi yang semakin tak memiliki border. Pembangunan Social-moral capital ini membutuhkan investasi yang besar, tanpa ada unsur moral pun negara-negara maju kapitalis lain pun masih menganggap hal ini sebagai sesuatu yang mahal.



[1] Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hlm 41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar