Selasa, Januari 04, 2011

Bukan Memberi, Tetapi Membantu Mereka Agar Bisa Memberi (Seri Baitul Maal wa Tamwil)


Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila…padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.(Al Baqarah: 275).

Indonesia diakui sebagai sebuah negara penuh potensi alam dan sumber daya manusia dalam proses pertumbuhan nasionalnya, ribuan pulau yang membentang memiliki kekayaan alam yang bisa menghidupi rakyatnya menuju penghidupan yang sejahtera. Tapi apa jadinya jika ini hanya menjadi sebuah wacana, tampak jelas kondisi riil masyarakat Indonesia saat ini yang terus berkemelut dengan pengangguran, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Serta masih banyak permasalahan sosial lainnya yang akan terus berdampak buruk bagi masa depan anak cucu bangsa ini. Permasalahan-permasalahan makro yang terjadi ini terus terjadi bukan tanpa solusi, pemerintah masih terus mencoba bahkan trial and error dalam menentukan kebijakan-kebijakan strategis guna menyikapi semua permasalahan yang terjadi.

Namun solusi-solusi penanggulangan masalah-masalah tersebut cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk warga miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan yang terjadi, program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral masyarakat. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen[1]. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya. Budaya ekonomi produktif lahir dengan tumbuh suburnya Bank-bank perkreditan kecil, namun solusi ini tidak mampu menjawab, karena masyarakat terus bergelimang dalam ekonomi ribawi dengan dibebankannya bunga dalam setiap pinjaman.

Salah satu solusi yang mampu menumbuhkan budaya ekonomi produktif non ribawi justru lahir dari masyarakat, yaitu dengan terbentuknya Baitul Maal wa Tamwil (BMT). Baitul Maal wa Tamwil lahir dan hadir di tengah-tengah masyarakat, serta dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan selanjutnya sebagai sebuah salah satu instrumen yang akan dirasakan manfaatnya oleh bangsa ini, setidaknya dalam menaggulangi pengangguran, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan.

Baitul Maal wa Tamwil selain sebagai lembaga alternatif penyalur modal juga memiliki misi, yaitu mewujudkan gerakan pembebasan anggota dan masyarakat dari belenggu rentenir, jerat kemiskinan, dan ekonomi ribawi, gerakan pemberdayaan meningkatkan kapasitas dalam kegiatan ekonomi riil, dan kelembagaan menuju tatanan perekonomian yang makmur dan maju serta gerakan keadilan membangun struktur masyarakat madani yang berlandaskan syariah.


Baitul Maal wa Tamwil dan Keadilan

Berdasarkan sebuah penelitian, BMT dapat memberikan peningkatan omzet bagi pemilik Usaha Kecil Menengah (UKM). Hal ini jelas dapat terjadi, karena penerima dana pembiayaan baik melalui skimsyirkah (kemitraan) atau mudhorobah akan terus dipantau dalam menjalankan roda usahanya sebagai sebuah tanggung jawab usaha bersama. Nasabah tidak diberi pinjaman, lalu diabaikan sementara pemilik modal hanya menuntut untuk menerima bunga bulanan yang fixed. Secara normatif, jelasbertentangan dengan prinsip kerjasama dalam hal kebaikan yang tertera dalam AlQuran. Pada faktanya pun akan memberikan kerugian materil bagi pengelola dana atau penerima dana pinjaman untuk Usaha Kecil Menengah tersebut. Inilah yang disebut dengan misi BMT untuk menyelamatkan masyarakat kecil menengah dari jeratan rentenir, bahkan rentenir yang sudah melembaga menjadi sebuah LKM ataupun BPRS bahkan Bank Konvensional sekalipun.

Baitul Maal wa Tamwil dalam Penghimpunan dan Penyaluran Dana

Secara fungsional Baitul Maal wa Tamwil (BMT) menjalankan dua misi, yaitu misi tabarru (tolong menolong) dan misi tamwil (mendapatkan keuntungan). Keduanya hendaknya mampu dilaksanakan oleh BMT secara proporsional. Layanan keuangan yang diberikan sangat dibutuhkan dalam menjembatani kebutuhan masyarakat kecil dalam bertransaksi secara mikro, dalam hal ini dana yang digunakan untuk kepentingan UKM, tak ayal keberadaan BMT ini sangat relevan dengan amanat Pancasila dan UUD 1945 pasal 27 dan 33 yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana diketahui dana yang dihimpun Baitul Maal wa Tamwil tak hanya simpanan dari orang yang kelebihan dana, tetapi juga berasal dari dana ZISWAF (Zakat, Infaq, Shadaqah, Wakaf). Baitul Maal Muamalat (BMM) salah satu anak perusahaan Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang menjalankan fungsi sosial BMI adalah salah satu lembaga zakat terkemuka di Indonesia, tetapi perannya dalam pengelolaan zakat, infaq, waqaf justru terfokus pada pengembangan usaha mikro dengan pemberian modal kepada ratusan BMT/LKMS diberbagai wilayah di Indonesia[2]. Penerima dana juga mendapat bimbingan kewirausahaan yang kontinyu dan terus dipantau seluruh aktivitas usahanya hingga pada akhirnya penerima dana mampu berdiri sendiri dan dapat menyalurkan charity atas usaha yang berjalan sukses. Contoh unik lain adalah BMT Tazkia madani, keunikannya BMT ini fokus padasocial collateral yang dibangun, juga diiringi pembinaan akhlak dan budaya bersekolah hingga tingkat atas bagi peserta penerima dana di sebuah lokasi yang masih terbelakang di daerah Babakan Madang, Bogor. Sekitar 3000 keluarga penerima dana yang merasakan manfaat pembinaan tersebut. Ada kepedulian jangka panjang dalam menyalurkan dana yang memang secara tak langsung adalah milik sebagian masyarakat yang kurang beruntung dari segi harta kepemilikan. Dan masih banyak kisah-kisah sukses BMT yang bisa digali dari kurang lebih 3000 unit BMT di seluruh Indonesia.

Indikasi positif ini hanya mampu dijalankan oleh lembaga keuangan mikro syariah, dengan ruang lingkup yang masih sangat sederhana, tapi justru mampu memiliki efek pengganda yang bercabang untuk kehidupan masyarakat menengah kebawah. Sebagai pelengkap keunggulan BMT ini juga bisa dilihat dari sisi makro, yaitu adanya semangat berwirausaha yang tinggi dari penerima dana pembiayaan. Keunggulan yang tak bisa diabaikan, mengingat betapa pentingnya wirausahawan sebagai pendorong pertumbuhan dan tingkat kesejahteraan nasional. Ini adalah kabar baik, dan ini merupakan aplikasi ekonomi Islam yang sangat nyata bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah.

Penutup

Keseimbangan hidup bermasyarakat ada ketika para aghniya (orang-orang kaya) bisa menanggung perut saudaranya sesama muslim yang lapar, pemberian cuma-cuma akan membesarkan hati fuqara(kaum papa). Lalu bagaimana fuqara bisa menjaga kepercayaan aghniya bahwa dana itu digunakan untuk kebutuhan yang semestinya, maka perlu ada wujud nyata, yaitu pengembangan usaha yang terkontrol dari sebuah lembaga yang terspesialisasi dan ahli dalam menangani usaha mikro. Lembaga Keuangan mikro yang tak menjerat seperti rentenir, dan menjalankan fungsinya sesuai dengan prinsip syariah dan mengambil seluruh landasan kegiatan lembaganya berdasarkan Al-Quran dan As-sunnah adalah Baitul Maal wa Tamwil (BMT). Kesejahteraan yang dicapai akan terus berlanjut. Inilah inti dari kesejahteraan yang ingin dicapai oleh penerapan ekonomi Islam di alam raya ini, pemerataan kesejahteraan, distribusi keadilan dan mancapai kemakmuran secara bersama-sama dalam sebuah tatanan masyarakat Indonesia produktif non ribawi. Hal terbaik yang bisa anda lakukan untuk orang lain bukanlah membagikan kekayaan anda, tetapi membantu ia untuk memiliki kekayaannya sendiri. (Benjamin Disraeli). Wallahu a’lam bi showab.


[1] Hamonangan Ritonga Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik, Badan Pusat Statistik”Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan? “ dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/10/ekonomi

[2] BMM bermitra dengan Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah dan dipercaya IDB sebagai donator terbesar dalam mengelola dana zakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar