Rabu, Juli 27, 2011

Pesona Zakat di Mata Saya


Senyumnya tampak pahit, dan sedikit menaruh curiga pada satu kumpulan orang yang datang mengunjungi desanya. Tidak sedikit orang-orang yang punya uang datang ke tempat itu untuk menawar paksa lahan yang satu2nya jadi tempat tinggal mereka. Posisi tawar masyarakat yang rendah, ditambah kemampuan negosiasi yang setara dengan tingkat pendidikan yang dikecapnya, ‘lulus SD saja masih untung’ begitu ucapnya. Tatapan matanya tajam pada berkas-berkas yang dibawa para terpelajar berkemeja dan bersepatu kulit itu. Mengawasi keadaan sekitar, untuk mengingatkan warga setempat supaya tidak pernah tertipu oleh berbagai macam iming-iming orang kota terdidik yang sering tak berperikemanusiaan pada mereka yang bodoh dan miskin. Meski sama-sama tak sekolah tinggi seperti warga lainnya, rupanya pria berkulit sawo matang yang terjemur terik matahari itu masih mampu berfikir logis dan ikut menuntun warga setempat dalam menghadapi orang-orang asing yang memiliki kekuasaan untuk menjadikan tanah mereka sebagai objek mengeruk keuntungan.
Pekerjaannya membuat ‘bilik’ (baca:sebuah kerajinan dari anyaman bambu), bilik itu biasanya dibeli orang untuk membuat rumah, surau dan bangunan-bangunan yang tak mengenal tembok sebagai dindingnya. Lingkaran kemiskinan yang melanda desa ‘X’ tersebut terus berjalan entah sejak kapan, yang jelas nenek moyang mereka juga miskin, berada di kawasan terpencil di sebuah kota yang berbatasan dengan Jakarta. Kemiskinan pula yang membuat kawasan itu gersang dari ajaran agama yang bisa menjadi sebagai oase dan petunjuk kehidupan, kemiskinan yang bersahabat erat dengan kebodohan. Tak ada pula upaya pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur untuk akses pembangunan, bukan karena tak bernilai ekonomi, tetapi pemerintah tak banyak memperhatikan beberapa kawasan terpencil di negeri ini. Kemiskinan struktural biasa kami menyebutnya, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak mendukung masyarakat miskin untuk lepas dari kondisi miskinnya, atau bahkan miskin yang disebabkan oleh kebijakan yang lebih berpihak pada konglomerasi di sebuah negara. 

Para petugas berkemeja batik itu mulai melihat-lihat kondisi sekitar, mengamati rumah satu persatu dan mencatatnya dengan seksama, bermodalkan sebuah metode indeks kemiskinan dengan mengamati rumah itulah mereka hadir. Indeks kemiskinan dari kondisi rumah yang tergambar jelas adalah salah satu metode efektif untuk melihat kemiskinan suatu keluarga, semakin jelek sebuah rumah maka dipastikan semakin payah keluarga tersebut dalam hal perekonomiannya. Sekitar 4 orang berpencar dan akhirnya bertemu sambil berdiskusi memperlihatkan hasil masing-masing. Sang pria berkulit cokelat tadi terus mengamati, melihat keanehan dan penasaran. Bilik-bilik yang hendak dijualnya pagi itu teronggok di sudut jalan dan ia mulai terpaku saat para petugas itu menghampirinya dan berkata-kata.

Pria paruh baya yang terlihat lebih tua dari umurnya itu  tampak kaku dan terbius demi mendengar apa yang diucapkan para petugas itu. Iya, ia tak salah dengar, petugas itu adalah utusan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang akan membantu warga dalam memperbaiki perekonomian dalam bentuk modal kerja dan pembinaan kewirausahaan. Sebelum dipinjamkan modal, masyarakat miskin disana akan dicukupi terlebih dahulu kebutuhan pokoknya dalam jangka waktu tertentu hingga akhirnya siap mendapat pinjaman dan mengembalikannya sesuai dengan pinjaman yang diperolehnya, tak ada bunga, tak ada jaminan. Bahkan petugas tersebut juga mengatakan akan mengajari masyarakat setempat untuk juga pandai menabung, mengaji, dan shalat dan tentu masyarakat yang dipinjamkan dana tersebut wajib bersekolah.  Senyum sumringah mengembang di wajahnya, akses modal yang selama ini sulit menghampiri desa tersebut, kini hadir lewat petugas-petugas berkemeja yang sedari pagi di curigainya.
Saat pria itu bertanya “ dari mana bapak-bapak mendapat uang yang sebegitu banyak untuk membantu masyarakat kami?”
Salah satu petugas menjawab “ini dana ZAKAT pak, dana yang kami peroleh dari orang-orang kaya. Mereka mengeluarkan zakat dari harta mereka sebanyak 2,5%”

Waktu berjalan, dan kini desa tersebut sudah menjadi desa percontohan di Jawa Barat, desa yang menghasilkan banyak kerajinan tangan setempat. Desa yang sudah mampu mengekspor barang2 buatannya ke luar negeri, desa yang terjaga kearifan lokalnya, desa yang terbina dan sejuk oleh bacaan alquran di suraunya di setiap pagi dan sore, desa yang memiliki sekolah-sekolah sederhana namun menghasilkan generasi-generasi emas pemimpin bangsa yang bersahaja di masa depan[1]. Yah, inilah keajaiban zakat. Pilar ketiga dari agama Islam, dan sangat mungkin pilar pertama dalam sistem perekonomian Islam seperti yang dikatakan oleh Monzer Kahf.

Tentu, salah satu hal yang membuat saya terpesona pada agama Islam adalah persoalan zakat. Kenapa terpesona? Zakat adalah mekanisme yang sangat penting untuk melaksanakan keadilan berekonomi, memberi makan orang miskin dan tentunya zakat bagi umat Islam adalah kewajiban atas harta, dimana seorang muslim harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk orang2 tertentu dengan ukuran yang sudah ditentukan. Dan semuanya tercantum dalam al Quran dan Hadist. Zakat bukanlah salah satu mekanisme charity  yang saat ini populer di kalangan konglomerat dunia yang ramai-ramai menyumbangkan separuh hartanya untuk kegiatan sosial seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan dsb, dalam sebuah program bernama The Giving Pledges . Namun zakat merupakan kewajiban umat muslim yang kaya (muzakki) untuk selanjutnya diserahkan kepada mustahik (8 golongan yang berhak menerima zakat)  (tercantum dalam Al Quran QS Attaubah:60), atau terdapat juga pada QS Attaubah:103, QS.AlBaqarah:276, QS Al Baqarah:43 dan so many more, it's absolutely amazing.
pict from Google.com
Sebagai bukti completeness Islam, diatur pula bagaimana batas orang kaya & batas orang miskin, dan rupanya Islam lebih proporsional dibanding perhitungan World Bank atau pun BPS dalam menentukan ukuran kaya dan miskin. Sebagai ilustrasi, seorang Muslim yang memiliki nilai perdagangan lebih dari 85 gram emas maka wajib membayar zakat sebesar 2,5%, artinya jika kita hitung sekitar (459,203x85[2]= Rp 39,032,255 ) dan nilai tersebut sudah sustained selama satu tahun, belum ada pengurangan sejak tercapainya nilai tersebut. Pedagang yang nilai perdagangannya dibawah 39 Juta tergolong tidak kaya dan tidak berkewajiban mengeluarkan zakat. Hitungan batas orang kaya yang tampak besar ini tidak justru memperkecil nilai zakat, Menurut Prof Didin Hafiduddin, salah seorang pakar zakat di Indonesia menyebutkan berdasarkan kajian Asian Development Bank (ADB) potensi zakat di Indonesia mencapai Rp100 triliun[3]. Artinya nilai tersebut sudah mencapai 6,7% dari PDB Indonesia yang sekarang mencapai Rp1.498,7 triliun. Ini akan sangat membantu pemerintah dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia yang saat ini berkisar 13,33%[4], persentase kemiskinan ini diperoleh berdasarkan kriteria miskin menurut BPS yaitu 2100 kalori perhari atau sekitar 212.000 perbulan. Jadi berapa persen kemiskinan di Indonesia jika menggunakan kriteria perhitungan batas wajib zakat dalam ajaran Quran dan Hadist??,, oo, silahkan dihitung, rasa-rasanya belum tega untuk menghitungnya saat ini, karena mungkin nilainya akan membengkak ke posisi 50-60%. Tapi memang inilah sekelumit fenomena kemiskinan di Indonesia saat ini. Alangkah bijaknya jika kita mencoba untuk rajin menghitung, meneliti, mengkalkulasikan dan menyimpulkan angka-angka tersebut menjadi sebuah formula kebijakan yang bisa diajukan kepada pembuat kebijakan di negeri ini. 
pict from salingsilang.com
Can We Collect Zakah to Alleviate Millions of Poverty???
Bisakah kita mengumpulkan zakat demi mengurangi kemiskinan di negeri ini? Adalah sebuah pertanyaan yang lumayan provokatif untuk setidaknya mengingatkan bahwa berjuta-juta masyarakat miskin ada di sekitar kita (bahkan saya juga miskin hehe), dan kita bertanggung jawab atas kemiskinan yang sudah menahun menunggu perbaikan dari siapapun yang mampu memecahkannya.
MA Mannan dalam papernya yang berjudul “Effects of Zakah Assessment and Collection on the Redistribution of Income in Contemporary Muslim Countries[5] meninjau bahwa zakat akan menambah permintaan konsumsi dalam perekonomian dengan redistribusi pendapatan dari yang orang yang kaya kepada orang yang miskin, zakat dapat mencegah kecenderungan untuk menimbun sumber daya dan uang tunai sehingga akan memberikan dorongan yang kuat untuk menginvestasikan persediaan yang tidak terpakai tersebut. Akan ada peningkatan produksi barang-barang dan jasa-jasa pokok yang dikonsumsi oleh orang miskin, bukan barang-barang mewah yang dikonsumsi orang kaya. Selanjutnya masih menurut Mannan, zakat yang membiayai proyek-proyek di bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial akan meningkatkan produktivitas masyarakat miskin. Kurang lebih seperti dalam kisah yang saya ceritakan diatas.
Nah, dari produktivitas yang tinggi memberikan efek multiplier yaitu akan menaikkan pendapatan riil penerima zakat dari hasil investasi. Ketika kebijakan fiskal yang berasal dari pajak belum mampu menjamin kesejahteraan masyarakat suatu negara, maka zakat mestinya bisa menjamin kesejahteraan sesuai dengan tujuan zakat itu sendiri. Namun, kendala yang masih dihadapi saat ini adalah belum optimalnya pengumpulan zakat karena masih bersifat voluntary system, yaitu membayar zakat karena kesukarelaan. Padahal zakat di negara-negara Muslim saat ini mayoritas dikelola oleh negara dan dijadikan instrument jaminan sosial, hanya saja tingkat transparansi dari zakah obligatory system ini juga perlu dicermati karena rentan terjadinya moral hazard. Beruntung saat ini di Indonesia sudah banyak berdiri lembaga zakat yang punya kiprah besar dalam pencapaian-pencapaian yang beririsan dengan pengurangan tingkat kemiskinan, seperti Dompet Dhuafa Republika, PKPU, Baitul Mal Muamalat, Rumah Zakat Indonesia dll. 

Menggenggam Harta
Dalam sebuah riwayat hadist shahih, diceritakan pada masa nabi-nabi Bani Israil, tercatatlah ada seorang laki-laki sebut saja si A yang hendak membeli satu kawasan  tanah di suatu tempat, dia mencari pemilik tanah (si B) hingga akhirnya bertemu dengan pemilik tanah yang hendak menjual tanahnya tersebut. Akhirnya setelah terjadi kesepakatan jual beli, berpindahlah kepemilikan tanah tersebut kepada si A.
Ketika si A menggarap tanah tersebut, tak dinyana dia menemukan bongkahan emas didalam tanah tersebut, si A jelas untung besar. Namun diceritakan selanjutnya, si A malah menemui si B, dan menyerahkan seluruh emas tersebut kepada si B,
“wahai B, dulu saya hanya membeli tanah, bukan membeli tanah yang mengandung emas, maka emas2 ini adalah milikmu semata”. Kejujuran si A ternyata berbuntut panjang, si B berkata,
“Wahai A, saya menjual tanah itu dengan segala isinya, jadi jika saudaraku menemukan bongkahan emas, maka itu otomatis menjadi milik saudara”
(ketika menulis ini bikin saya miris bayangin jika kejadian tersebut terjadi di masa kini, it’s strongly impossible, :p).
Mendengar pernyataan si B, si A bukannya senang, akhirnya terjadilah perdebatan diantara mereka memperebutkan untuk saling menyerahkan tanah yang mengandung logam mulia tsb.  Karena tak menemukan kata sepakat, pergilah mereka berdua kepada hakim. Sang hakim bertanya kepada keduanya, “apakah kalian berdua memiliki anak?”, keduanya menjawab ya, si A memiliki anak laki-laki, si B memiliki anak perempuan. “mudah sekali, nikahkanlah anak-anak kalian, dan emas tersebut jadi mas kawin dan seluruh biaya hidup mereka”. A dan B menyambut baik keputusan hakim tersebut, hingga pada akhirnya A dan B menjadi besan dan terus menjalin silaturahmi.[6] Cool story right!! Hehe

Kisah tersebut memang tidak berhubungan langsung dengan zakat, tapi ini adalah sebuah cermin, bahwa orang-orang sholeh akan selalu khawatir dengan harta yang digenggamnya, seorang yang sholeh takut hartanya diperoleh dengan menzalimi orang lain, takut harta tersebut membawanya ke neraka. Jangankan harta yang nampak, bahkan harta yang tersembunyi di dalam tanah. Rasa-rasanya si A dan B dengan kapasitas kesholehan macam itu tak akan mengelak jika pada saat itu telah turun syariat zakat. Kontras kejadian tersebut diatas memang sesuai apa yang pernah dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa sebaik-baik harta ada ditangan orang sholeh.
Maka jadilah kaya, dan jadilah kaya yang shalih. yaitu yang mengeluarkan zakatnya untuk yang berhak.





[1] Cerita terinspirasi dari sistem pemberdayaan Tazkia Microfinance  di kawasan pedalaman Babakan Madang di Sentul bogor
[2] Data harga emas diakses dari http://www.geraidinar.com/ 27-Jul-2011
[3] Republika.co.id diakses pada 27 Juli 2011
[4] Data BPS, www.bps.go.id diakses pada 27 Juli 2011
[5] IRTI IDB Research Paper 2000
[6] HR Bukhori Muslim, dikisahkan kembali oleh penulis

3 komentar:

  1. hehe, thanks ka,, tapi ini tulisan ini tidak sistematis dan kalah di lomba blog keanusiaan kemarenn .. :((

    BalasHapus
  2. yang penting mah bermanfaat bagi si pembaca.
    kalo lomba mah masih ada lain kali...

    semangat terus shaamm :)

    BalasHapus